Ketentuan Pasal 81 angka 4, Pasal 42 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020”) pada pokoknya mengatur bahwa TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 81 angka 4, Pasal 42 ayat (5) UU No. 11/2020 mengatur bahwa TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi masalah personalia.
Bahwa oleh karena TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan didudukinya, maka jenis perjanjian kerja yang berlaku bagi TKA adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang didalam ketentuan Pasal 81 angka 12, Pasal 56 ayat (2) UU No. 11/2020 diartikan sebagai perjanjian kerja yang dilakukan antara Pekerja dengan Pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja berdasarkan jangka waktu tertentu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.
Selanjutnya apabila TKA di-PHK oleh Pengusaha sebelum kontrak berakhir, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang terakhir diperbarui dengan UU No. 11/2020, TKA Ybs seharusnya akan mendapatkan “Ganti Rugi sebesar Upah Pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja”.
Namun, apakah ketentuan Pasal 62 UU No. 13/ 2003 tersebut menjadi tidak berlaku karena terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang pada pokoknya menyatakan bahwa “Tenaga Kerja Asing yang jangka waktu IMTA-nya telah berakhir namun PKWT-nya masih berlaku, sisa waktu PKWT tidak lagi mendapat perlindungan hukum?”.
Menjawab pertanyan tersebut diatas, maka penting kiranya kita cermati terlebih dahulu konsideran/ kontekstualisasi hukum yang digunakan oleh Hakim Agung ketika membuat SEMA No. 1/2017 tersebut.
Bahwa SEMA No. 1/ 2017 yang salah satunya mengatur tentang batas perlindungan hukum bagi TKA yang bekerja di Indonesia adalah SEMA yang dibuat dengan mendasarkan pada ketentuan Pasal 42 ayat (1) UU No. 13/2003. Dalam Pasal 42 ayat (1) UU No. 13/2003 memang benar ditegaskan bahwa “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk” sebut saja “IMTA”, namun setelah diundangkannya Perpres No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing Jo. Permenaker No. 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Jo. Permenaker No. 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, kewajiban untuk memperoleh Izin Tertulis dari Menteri (IMTA) tersebut menjadi hilang dan digantikan hanya dengan kewajiban mendapatkan pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 81, angka 4, Pasal 42 ayat (1) UU No. 11/2020 yang menyatakan bahwa “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat”.
Bahwa atas dasar tersebut, maka sebenarnya SEMA No. 1/2017 telah kehilangan legitimasinya secara materiil, karena ketentuan Pasal 81, angka 4, Pasal 42 ayat (1) UU No. 11/2020 Jo. Permenaker No. 34/2021 hanya mewajibkan kepada pemberi kerja yang mempekerjakan TKA untuk mendapatkan pengesahan RPTKA dari pemerintah.
Selanjutnya atas dasar tersebut, maka apakah RPTKA dapat dipersamakan dengan IMTA?, maka jawabanya tentu saja tidak sama, karena RPTKA pada pokoknya adalah Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang diusulkan oleh Pengusaha kepada Pemerintah. Sedangkan IMTA adalah Izin yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja atas dasar permohonan Pengusaha, setelah RPTKA yang diusulkan oleh Pengusaha telah disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Lagipula kewajiban IMTA bagi Pengusaha yang mempekerjakan TKA juga telah dihapus oleh ketentuan Pasal 81, angka 4, Pasal 42 ayat (1) UU No. 11/2020 Jo. Permenaker No. 34/2021.
RPTKA merupakan domain dari Pengusaha dan bukan kewajiban dari TKA ybs, sehingga selama Pengusaha tidak memperpanjang RPTKA yang telah disahkan atau membuat RPTKA baru, sedangkan dalam masa pembuatan RPTKA tersebut, TKA ybs dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja sebelum kontrak kerjanya berakhir, maka demi hukum TKA ybs harus mendapatkan perlindungan hukum yaitu mendapatkan “Ganti Rugi sebesar Upah Pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja”.
Bahwa pendapat mana juga berbanding lurus dengan beberapa Putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi Yurisprudensi yaitu:
• Tahun 2017 dalam Putusan Nomor: 33 K/Pdt.Sus/2017, antara Montd’or Oil Tungkal, Ltd melawan Nigel Patrick Machin;
• Tahun 2018 dalam Putusan Nomor: 1121 K/Pdt.Sus/2018, antara Malcolm Vivian Weir melawan PT. Townsville Welding Supplies;
• Tahun 2018 dalam Putusan Nomor: 1126 K/Pdt.Sus/2018, antara Andrew James Carr Hyde melawan Yayasan Pendidikan Asian Pasifik;
• Tahun 2019 dalam Putusan Nomor: 495 K/Pdt.Sus/2019, antara Ho Thian Hoc melawan PT. Asia Foundry & Engineering;
• Tahun 2020 dalam Putusan Nomor: 392 K/Pdt.Sus/2020, antara Deng Heng Fatt melawan PT. Mega Sentral Mekanikal;