Demosi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai sebagai “pemindahan jabatan ke jabatan yang lebih rendah”. Sedangkan secara harfiah Demosi dimaknai sebagai penurunan jabatan.
Oleh karena adanya penurunan jabatan, maka setiap Demosi yang sering dilakukan oleh Perusahaan sebagai bentuk hukuman atau sanksi kepada Karyawan ketika melakukan pelanggaran secara terus menerus, seringkali membawa konsekuensi pada penurunan upah/ tunjangan atau benefit lainnya kepada Karyawan bersangkutan.
Atas hal tersebut, maka apakah Demosi sebenarnya diperkenankan oleh Peraturan Perundang-Undangan Ketenegakerjaan?.
Sepanjang pengetahuan Penulis, Peraturan Perundang-Undangan di bidang Ketenagakerjaan belum ada yang mengatur secara spesifik mengenai Demosi.
Jika Demosi diinterpretasikan sebagai bentuk “penempatan tenaga kerja”, maka ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diperbarui terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut “UU No. 6/2023”), pada pokoknya mengatur sebagai berikut:
“1. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
2. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum”
Atas dasar ketentuan tersebut, maka berdasarkan penafsiran gramatikal UU, Demosi yang dilakukan Perusahaan/ Pengusaha tidaklah memenuhi asas terbuka, bebas, obyektif, adil dan tanpa diskriminasi, karena dapat dipastikan Demosi tidak sesuai dengan keahlian dan memberikan perlindungan kepada Karyawan, kecuali hal tersebut diatur secara tegas dan jelas dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Namun, jika Demosi diinterpretasikan sebagai bentuk “sanksi”, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 81, Angka 45, Pasal 154A ayat (1) huruf k UU No. 6/ 2023, setiap sanksi yang diberikan oleh Perusahaan kepada Karyawan termasuk Demosi, haruslah terlebih dahulu diawali dengan pemberian Surat Peringatan, tanpa adanya Surat Peringatan, maka Demosi dianggap sebagai cacat hukum, apalagi Demosi tersebut disertai dengan penurunan upah, yang menurut hemat Penulis adalah bentuk pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja yang dibuat antara Perusahaan/ Pengusaha dengan Karyawan bersangkutan.
Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
“Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama”
Bahwa berdasarkan pemahaman diatas, maka menurut hemat Penulis Demosi tidaklah diperkenankan oleh Peraturan Perundang-Undangan di bidang Ketenagakerjaan, kecuali hal tersebut telah diatur secara jelas dan tegas didalam Peraturan Perusahaan ataupun Perjanjian Kerja Bersama, karena jika Demosi dianggap sebagai bentuk sanksi atas kinerja/ perilaku karyawan yang buruk, maka tidak semestinya karyawan bersangkutan diturunkan jabatannya dari jabatan semula, apalagi disertai dengan penurunan upah, melainkan cukup dengan diberikan Surat Peringatan 1, 2, dan 3 dengan jangka waktu masing-masing peringatan adalah 6 (enam) bulan.