Benarkah RPTKA Sebagai Dasar Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Asing (TKA)?

Perubahan regulasi di bidang ketenagakerjaan, termasuk sebagai upaya meningkatkan ease of doing bussines di Indonesia, turut serta mengubah ketentuan terkait Tenaga Kerja Asing di Indonesia. Salah satu ketentuan mengenai Tenaga Kerja Asing yang turut diubah adalah mengenai syarat dokumen untuk mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia.

Sebelum diberlakukannya UU No. 6/2023 Jo. PP No. 34/2021 Jo. Permenaker No. 8/2021, seorang TKA dapat dipekerjakan di Indonesia jika perusahaan yang mempekerjakan TKA tersebut, telah terlebih dahulu mengajukan Rencana Pengajuan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan telah mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang kemudian IMTA ini dihapus oleh Perpres No. 20/2018 dengan Notifikasi Persetujuan RPTKA dari Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia.

Atas dasar perubahan ketentuan tersebut, maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah benar RPTKA termasuk pengesahannya, menjadi dasar hukum untuk memberikan perlindungan kepada TKA dibandingkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), apabila TKA tersebut dilakukan PHK secara sepihak oleh perusahaan sebelum jangka waktu PKWT tersebut berakhir?.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penting kiranya dikutip ketentuan  Pasal 81 angka 4, Pasal 42 ayat (1) UU No. 6/2023 Jo. Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) dan (3), Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 14 ayat (6) PP No. 34/2021 Jo. Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 21 Permenaker No. 8/2021 yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut:

UU No. 6/2023

Pasal 81 angka 4, Pasal 42 ayat (1):

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat”

PP 34/2021

Pasal 12 ayat (1):

“Untuk mendapatkan Pengesahan RPTKA, Pemberi Kerja TKA harus mengajukan permohonan secara daring kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk

Pasal 14 ayat (6):

“Pengesahan RPTKA digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja sebagai TKA

Pasal 4 ayat (1):

“TKA hanya dapat dipekerjakan oleh Pemberi Kerja TKA dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang diduduki”

Pasal 6

Ayat (1):

Setiap Pemberi Kerja TKA yang mempekerjakan TKA wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk”

Ayat (3):

“Pemberi Kerja TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mempekerjakan TKA sesuai dengan Pengesahan RPTKA”.

Pasal 12 ayat (1):

“Untuk mendapatkan Pengesahan RPTKA, Pemberi Kerja TKA harus mengajukan permohonan secara daring kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk

Pasal 14 ayat (6):

“Pengesahan RPTKA digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja sebagai TKA

Permenaker No. 8/2021

Pasal 6 ayat (1):

Pemberi Kerja TKA mengajukan permohonan Pengesahan RPTKA secara daring melalui TKA Online kepada:

  1. Direktur Jenderal untuk jumlah TKA 50 (lima puluh) orang atau lebih; atau
  2. Direktur untuk jumlah TKA kurang dari 50 (lima puluh) orang.

Pasal 21 ayat (1):

Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja bagi TKA”;

Bahwa merujuk pada beberapa ketentuan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan jika RPTKA bukanlah dasar untuk memberikan perlindungan hukum kepada TKA, apalagi menjadi kewajiban TKA, melainkan kewajiban/ domain Perusahaan yang mempekerjakan TKA di perusahaannya. Untuk itu, apabila seorang TKA di putus hubungan kerjanya oleh perusahaan, sebelum jangka waktunya PKWT-nya berakhir, maka TKA yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan Pasal 62 UU No. 13/2003 yang diperbarui terakhir dengan UU No. 6/2023, berhak atas ganti rugi sebesar sisa kontrak yang belum dijalani.

UU No. 13/2003

Pasal 62:

“Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Konsultasi !