Dalam proses penyelesaian sengketa hubungan industrial atau sebelum perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, tidak jarang Pengusaha memberikan skorsing kepada karyawan sebagai bagian dari proses mendisplinkan karyawan atau sebagai tindakan preventif untuk melindungi kepentingan perusahaan dari tindakan yang merugikan.
Terkait hal tersebut, maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah selama masa skorsing tersebut, Pengusaha wajib membayar upah kepada karyawan bersangkutan? dan apa yang dilakukan karyawan jika dalam masa skorsing tersebut Pengusaha ternyata tidak membayar upah kepada karyawan atau membayar upah namun tidak sebagaimana mestinya?.
Dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan, skorsing adalah tindakan sementara untuk menghentikan seorang karyawan dari pekerjaannya dengan alasan tertentu, seperti pelanggaran perusahaan atau ketidakpatuhan terhadap aturan kerja yang telah ditetapkan. Skorsing biasanya dilakukan setelah Pengusaha melakukan investigasi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh karyawan dan setelah memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memberikan penjelasan atau pembelaan terhadap tuduhan yang diajukan.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo. Pasal 157A UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut:
Pasal 93 ayat (2) huruf f UU No. 13/2003:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
- pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
Pasal 157A UU No. 6/ 2023:
(1) Selama penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pengusaha dan Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya.
(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada Pekerja/Buruh yang sedang dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja dengan tetap membayar Upah beserta hak lainnya yang biasa diterima Pekerja/Buruh.
(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya.
Maka dapat dipahami jika setiap tindakan skorsing yang dilakukan oleh Pengusaha kepada karyawannya untuk alasan apapun, pengusaha tetap harus melaksanakan kewajibannya termasuk melakukan pembayaran upah dan hak lain yang biasanya diterima oleh karyawan bersangkutan.
Namun, apabila dalam masa skorsing tersebut, karyawan bersangkutan ternyata sama sekali tidak mendapatkan upah atau mendapatkan upah namun tidak sebagaimana mestinya, maka yang dapat dilakukan oleh karyawan bersangkutan berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang pada pokoknya mengatur sebagai berikut:
Pasal 3 UU No. 2/2004:
(1) Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
(2) Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Adalah melakukan perundingan bipartit dengan perusahaan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya perundingan pertama dan selanjutnya apabila gagal, maka karyawan bersangkutan dapat mencatatkan perselisihan hubungan industrialnya kepada Dinas Tenaga Kerja setempat, sesuai dengan ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2004
Pasal 4 UU No. 2/2004:
“Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan”.